Bisnis Jutaan Dollar, Di Balik Industri Film Porno Dunia

 
Bisnis Jutaan Dollar, Di Balik Industri Film Porno Dunia JANUARI 2011 di Las Vegas. Kota maksit terbesar di seantero jagat itu memperlihatkan aroma khasnya: matahari,  kasino, dan hiburan dewasa. Di sana juga ada konferensi industri porno terbesar di dunia.
Setiap bulan Januari,  para industriawan porno dari seantero jagat datang ke Kota Judi ini untuk berpartisipasi dalam seminar, membahas tren industri, mengembangkan jaringan dengan teman sebaya, mencari bakat-bakat baru, dan mengantipasi kehadiran teknologi terbaru yang terus berkembang di dunia pornografi.
Ketika kolumnis ekonomi dari koran The Guardian – London, Gail Dines,  menghadiri pameran, pada sesi seminar di sana, wanita analis bisnis ini dengan cepat mengambil kesimpulan yang begitu gamblang, bahwa apa yang menggairahkan orang-orang – dan itu sangat laki-laki – pada industri pornografi bukan pada sisi sex-nya, melainkan pada uangnya.
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di ruang pengap, di ruang konferensi yang temaram membahas ceruk pasar, diversifikasi produk, dan menghasilkan lebih banyak lalu lintas situs web di internet, karena, seperti kata seorang peserta yang hadir : “Mengidentifikasi pelanggan, penjualan dan pemasaran produk yang tepat untuk pelanggan yang ada dan menarik pelanggan yang baru, sangat penting dalam pasar yang kompetitif saat ini. ”
Di aula konvensi gua, orang-orang menganalisa pasar, berbaur dengan penyanyi favorit, menonton cuplikan film-film terbaru, dan sabar menunggu apa yang penyelenggara panggilan “Menunjukkan Tahap Seksi”, di mana artis porno wanita mensimulasikan seks dengan satu sama lain.
Selain menampilkan cuplikan-cuplikan film, dalam pameran itu dipertunjukan bagaimana atraksi-atraksi baru. Penonton akan terpancing gairahnya, sementara para industriawan yang hadir melihat keuntungan yang akan didapatnya.
Berkeliling ruangan, sang kolumnis melihat para artis dan pemain film porno hanya mengenakan pakaian dalam, sepatu bertumit tinggi (high heels), atau duduk di meja dengan kaki mengangkang atau pose lain mengundang birahi dan membiarkan – atau bahkan memancing – fotografer untuk mengambil dan mengabadikan pose-posenya.
Yang hadir di sana, tak hanya pengusaha film porno, produser, investor, sutradara, dan distributor. Ada juga fans fanatik. Sebagaimana fans film artistik di bioskop, yang hadir di acara pameran film agar bisa ketemu dengan artis idolanya, demikian pula dalam pameran film porno ini. Mereka membeli tiket, bertemu bintang, minta tanda tangan dan foto bersama, mencari kepuasan, fantasi, dan realitas bersama artis kesayangan yang selama ini hanya dikenal di depan layar komputer atau DVD di kamarnya.
Di Amerika Serikat saja, industri pornografi menangguk duit penonton miliaran dolar (triliunan rupiah!) yang menghasilkan lebih dari 13.000 film per tahun. Bisnis film porno tertanam makin dalam dan terikat pada rantai nilai yang kompleks, menghubungkan tidak hanya produser film dan distributor, tetapi juga bankir, produsen perangkat lunak, perusahaan kartu kredit, internet penyedia, perusahaan kabel, dan jaringan hotel.
Industri film porno menjadi sumber utama pendapatan bagi hotel, untuk beberapa waktu sekarang, dengan mata rantai seperti Holiday Inn, Hilton, Sheraton, Radisson, Hyatt dan Marriott membuat banyak uang dari pay-per-view TV.
Pada tahun 2007 sebuah artikel di XBIZ industri bisnis situs porno menempatkan pendapatan tahunan dari porno hotel pada lebih dari $ 500 juta. Artikel ini memaparkan bahwa hotel-hotel porno tidak hanya membuat uang untuk hotel, akan tetapi juga untuk perusahaan yang menyediakan itu, yang termasuk mega-raksasa seperti LodgeNet dan On Komando.
Tidaklah kebetulan bahwa Consumer Electronics Show Internasional berlangsung di Las Vegas pada waktu yang sama – persis seperti pameran. Industri pornografi telah membantu dan mendorong teknologi yang memperluas pasar.
Menurut Jonathan Coopersmith, seorang sejarawan teknologi, pornografi dapat diandalkan dan sangat menguntungkan segmen pasar tertentu, dan mempercepat perkembangan teknologi media, sejak VCR dan DVD untuk jaringan file-sharing, video on demand untuk kabel, streaming video melalui internet untuk komputer pribadi (PC). Dan  terakhir, video untuk ponsel!
Video menggunakan sejumlah besar data, dan permintaan untuk porno telah mendorong pengembangan inti cross-platform teknologi untuk data, pencarian transmisi kompresi, dan pembayarannya. Jaringan file-sharing seperti Kazaa, Gnutella dan LimeWire yang lebih dikenal untuk musik, secara luas digunakan untuk file video porno juga.
Beberapa tema dibahas dalam seminar di pameran itu adalah bagaimana mengintegrasikan pornografi menjadi budaya pop, menciptakan citra publik yang menguntungkan bagi bisnis, dan menghindari regulasi yang mengekangnya. Industri pornografi tidak seperti industri lain, tidak bisa secara langsung mengiklankan produk di televisi atau di surat kabar, sehingga harus bergantung pada perusahaan PR seperti BSG Public Relations agar media-media mainstream bersikap “ramah” terhadap cerita  pornografi.
Ada ratusan contoh untuk menarik dari sini: Jenna Jameson pada acara Oprah Winfrey berbicara tentang bagaimana dia merasa diberdayakan dari film porno yang dimainkannya; Hugh Hefner sedang diwawancarai oleh koran lain . Dan sebuah artikel di majalah Cosmopolitan mengungkapkan bagaimana menonton film porno adalah cara yang menyenangkan bagi perempuan untuk membumbui kehidupan seks mereka.
Efek kumulatif adalah apa yang jurnalis Pamela Paulus menyebut “pornification” dari budaya kita, dimana gambar porno, pesan dan meresap ke dalam identitas seksual cerita kita menjadi biasa – menjadi bagian dari pop culture – budaya massa.
Kecenderungan ini bisa dilihat dalam semakin tinggi tumit sepatu pada kaki para wanita, tampilan hypersexed dari gadis-gadis muda dan lebih muda, selebriti seperti Miley Cyrus tak sungkan tampil dalam pole dancing, yang biasanya ada di bar-bar panggung tarian telanjang (striptease)  dan – dalam contoh yang paling mencolok – popularitas kebiasaan waxing (mencukur bagian sensitif itu) di kalangan wanita muda.
Praktik ini sudah menyebar luas di film-film porno sekitar satu dekade lalu dan sekarang begitu umum,  sehingga hampir mustahil kini menemukan pemain wanita di film porno dengan rambut di kemaluan.
Sementara itu, mencukur rambut kemaluan telah menjadi begitu diterima di kalangan remaja putri, bahwa mereka mengatakan mereka malu dengan rambut di kemaluan mereka. Dan begitu juga pasangan seks mereka. Beberapa dari mereka menolak untuk berhubungan seks dengan mereka jika mereka tidak sepenuhnya wax – plontos. Ini masuk akal, mengingat bahwa banyak dari (remaja) pria mendapatkan pendidikan seks mereka dari film-film porno!
Salah satu gagasan yang tercetus dalam seminar di pameran industri  pornografi di Las Vegas tahun 2011 ini disebut Company of Woman (Perusahaan Perempuan). Para akademisi akan dilibatkan dalam industri pornografi untuk berbagi ide tentang bagaimana mengembangkan produk niche – ceruk khusus – yang ditargetkan untuk perempuan.
Bagaimana selera perempuan diberdayakan oleh industri film porno, karena pornografi yang ada selama ini benar-benar hanya memenuhi kepuasan laki-laki dan diproduksi hanya dari sudut selera kaum lelaki.
Apa kaitannya dengan maraknya industri porno di Tanah Air?
Perlu diwaspadai semua hal yang sedang menjadi trend di Amerika merembes ke sini. Para orangtua dan guru harus lebih serius menjaga anaknya, bukan dengan cara main larang mengakses tayangan porno – karena akan menimbulkan rasa penasaran – melainkan menganggap itu tak perlu, tak pantas, keliru, dan memberikan alternatif yang lebih menarik dan mengasyikkan.

sumber poskota

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment