Pasien RS Ini Sering Ditemani Mayat !

Hati-hati bila anda dirawat di RSUD Dr M Soewandhie Surabaya. Karena bila suatu saat ada tetangga kasur perawatan Anda meninggal, bisa-bisa akan menemani Anda. Sebab, rumah sakit milik Pemkot Surabaya ini sejak berdiri tahun 1999 hingga kini tidak kunjung memiliki kamar jenazah.



Bisa ditebak, akibat tak ada kamar mayat, jenazah dibiarkan saja di kamar tempat pasien semula dirawat tanpa penanganan apa pun seperti dimandikan (disucikan) atau dikafani.


Jenazah hanya dibiarkan di ruangan dengan kondisi tertutup kain. Letaknya pun tidak dipisahkan dari pasien lain. Jika sebelumnya pasien yang meninggal ini berada di tempat tidur bagian tengah, ketika meninggal jenazahnya tetap dibiarkan di tengah, di antara pasien hidup.


Hal ini tentu saja menakutkan pasien maupun keluarga pasien yang kebetulan satu ruangan dengan pasien meninggal tersebut. Apalagi, kondisi ini berlangsung minimal dua jam.


Direktur RSUD Dr Soewandhie, dr Didiek Rijadi membenarkan kondisi memprihatinkan ini. "Ya bagaimana lagi, kami tidak memiliki kamar mayat," ujar Didiek pasrah.


Diakui Didiek, banyak pasien mengeluhkan kondisi ini, apalagi jika jenazah ini tidak segera diambil keluarganya. "Sebenarnya, kami hanya memberi batas waktu dua jam untuk jenazah tetap di rumah sakit. Ini mengantisipasi kalau dia hanya mati suri. Selebihnya terserah keluarganya mengambil. Tapi kalau lama banyak pasien yang protes karena ketakutan," ungkapnya.


Untuk mengantisipasi agar tidak banyak pasien meninggal, pihak rumah sakit langsung merujuk pasien kritis ke RSU Dr Soetomo, sehingga kemungkinan meninggal di RSUD Soewandhie kecil. Namun, Didik menuturkan, bahwa jika dihitung, dalam waktu satu bulan sekitar sembilan orang pasien meninggal dunia di RSUD Soewandhie.


Rujukan ke RSU Dr Soetomo juga berlaku untuk jenazah yang meninggal tidak wajar seperti tersetrum listrik, terbakar, tenggelam, dan kecelakaan lalu lintas. Pengiriman ini untuk keperluan visum dan otopsi karena RSUD Dr Soewandhie juga tidak memiliki ruang dan perlengkapan otopsi. "Kalau untuk visum luar kami masih bisa, tapi untuk visum dalam ya harus dikirim karena memang alatnya tidak ada," terangnya.


Apalagi, RSUD Dr Soewandhie juga tidak memiliki freezer untuk mengawetkan jenazah, sehingga akan menyulitkan jika jenazah harus tinggal lama untuk keperluan penyelidikan.


Salah satu perawat di ruang jantung RSUD Dr Soewandhie yang ditemui Surya mengakui banyak pasien yang merasa tersiksa ketika ada pasien meninggal. Karena jenazahnya pasti dibiarkan dulu di ruangan.


"Mereka menggerutu karena di sini sudah membayar, kok tiba-tiba ada yang meninggal di dekatnya dan dibiarkan saja. Mereka ingin pasien meninggal ini diletakkan di ruang lain. Tapi bagaimana mungkin, kami tidak ada kamar jenazah," ujar perawat laki-laki yang enggan menyebutkan namanya .


Banyak juga pasien dan keluarga pasien yang ketakutan dan memilih keluar ruangan ketika ada yang meninggal.


"Tapi biasanya keluarga pasien yang meninggal ini sudah tahu diri. Jadi setelah dinyatakan meninggal oleh rumah sakit, mereka langsung membawa pulang, jadi tidak lewat berjam-jam," imbuh perawat lainnya. Menurut perawat itu dan pantauan Surya Jumat (10/12) tidak ada pasien yang meninggal.


Direktur RSUD Dr Soewandhie, dr Didiek Rijadi, mengakui, dengan status rumah sakit tipe B seharusnya RSUD dr Soewandhie memiliki kamar mayat, ruang otopsi dan freezer. Namun, hingga kini sarana itu belum dimiliki.


Bahkan di bangunan baru yang kini dalam proses pembangunan, juga tidak menyediakan kamar jenazah. Bangunan tiga lantai itu hanya diperuntukkan instalasi rawat inap (Irna), dapur, laundry, ruang operasi, laboratorium radiologi, ruang recovery dan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL).


Diakuinya, kesulitan ini sudah pernah disampaikan ke pemkot sejak tahun 2008 silam. Saat itu Didiek meminta ada perluasan lahan seluas 5.000 m2 di sekitar rumah sakit. Lahan ini berstatus surat ijo dan dihuni warga sekitar.


Saat itu usulan itu diterima pemkot, namun pemkot sendiri kesulitan melepaskannya. "Sebenarnya lahan surat ijo bisa diambil alih pemkot karena sesuai perda jika memang dibutuhkan bisa diambil. Tapi masalahnya harus ada ganti rugi bangunan," ungkapnya.


Selain kamar mayat, ruang penting lain yang tidak dimiliki adalah ruang isolasi untuk penyakit menular, ruang penyakit jiwa, bank darah dan lahan parkir.


Tidak adanya ruang isolasi mengakibatkan banyak pasien penyakit menular harus bercampur dengan pasien umum. Ini memicu penularan penyakit. "Ya, tidak heran kalau ada pasien yang masuk sakit batuk, tiba-tiba keluar dari rumah sakit terkena lepra, karena memang digabung jadi satu," selorohnya.


Akibat minimnya sarana, status tipe B yang disandang RSUD Soewandhie terancam dicabut kementerian kesehatan. Apalagi sebelumnya Komite Akreditasi Rumah Sakit (KAR) Kementerian Kesehatan sudah memastikan rumah sakit ini tak layak diakreditasi. Ini disampaikan saat mereka meninjaunya November 2010 lalu.


Saat ini RSUD Dr Soewandhie memang sedang membangun gedung bertingkat namun sejak dibangun dua tahun lalu, hingga kini tak kunjung selesai. Padahal ruang-ruangan di bangunan baru ini juga menjadi syarat bisa tidaknya diakreditasi.


"Kami berharap pemkot bisa melelang pembangunan gedung ini di awal tahun sehingga awal tahun 2011 sudah bisa kami ajukan akreditasi," ujar Didiek.


Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya Simon Lekatompessy berjanji membantu kesulitan RSUD dr Soewandhie. "Kami akan membantu perluasan lahannya, kalau memang itu surat ijo ya kami upayakan," janji Simon.


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment