Mbah Maridjan (83), ditemukan dalam posisi sedang sujud di atas sajadah mengarah kiblat di dalam kamar rumahnya, Saat dievakuasi, posisi Mbah Maridjan masih sujud dengan luka bakar di tubuhnya. Jenazah Mbah Maridjan dikenali dari batik yang dikenakan jenazah.
Mbah Maridjan tewas akibat sengatan awan panas yang disebut wedhus gembel di kediamannya Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, Selasa (26/10/2010). Dusun tempat tinggal Mbah Maridjan dan kerabatnya itu luluh lantak di sapu abu panas.
Mbah Maridjan yang enggan meninggalkan rumahnya, meninggal dalam posisi sujud. Sebelumnya, ia sempat ditemui tim evakuasi. Ketika diajak meninggalkan rumahnya, ia menolak.
Sebagai juru kunci, Mbah Maridjan tak pernah mau meninggalkan Gunung Merapi. Lelaki renta berusia 83 tahun ini pernah mengatakan, "Kalau saya ikut ngungsi akan ditertawakan anak ayam."
Meski demikian, pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo ini justru meminta warga menuruti imbauan pemerintah. "Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo," kata dia.
Mbah Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi mengungsi, dikhawatirkan warga akan salah menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan mengira kondisi Gunung Merapi sedemikian gawat. "Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk," kata dia.
Warga juga diimbau memohon keselamatan pada Tuhan, agar tak terjadi yang tak diinginkan kalau nantinya Merapi benar-benar meletus.
Saat ditanya, Kapan Merapi meletus menurut Mbah Maridjan? Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi, ia tak punya alat canggih seperti yang dimiliki Badan Vulkanologi."Hanya Tuhan yang tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak punya kuasa apa-apa," jawab dia.
Mbah Maridjan Sosok yang Bertanggung jawab
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, Mbah Maridjan, korban tewas akibat bencana erupsi Gunung Merapi merupakan sosok yang baik dan sangat bertanggung jawab. "Saya merasa kehilangan juru kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan. Saya berbelasungkawa atas musibah tersebut," katanya di Posko Utama Penanggulangan Bencana Merapi di Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu.
Mbah Maridjan lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, menikah dengan Ponirah (73). Pasangan ini dikaruniai 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu, dan 6orang cicit. Ia diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1970 oleh mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Surakso Hargo. Awalnya, jabatan Mbah Maridjan adalah wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Detik-Detik Akhir Mbah Marijan
Selasa, 26 Oktober 2010
Pukul: 17.00, Mbah Marijan sedang berada di rumahnya. Saat itu, dia didatangi dua tamu yang membujuk agar bersedia turun. Tapi, Mbah Marijan tetap tidak mau meninggalkan rumah.
Pukul: 17.10, Terdengar gemuruh dari lereng Merapi. Setelah itu, terlihat warna merah di atas Merapi.
Pukul: 17.15-19.00, Perkiraan waktu selama awan panas (wedhus gembel) meluncur dari atas Merapi dan menyapu kampung Mbah Marijan di Kinahrejo. Ketika awan panas meluncur, Mbah Marijan diduga sedang salat Magrib di dalam kamar pribadinya. Diduga, ketika sedang bersujud, tubuhnya dihantam awan panas hingga nyawanya melayang.
Pukul: 21.00-24.00, Tim evakuasi tiba di Kinahrejo untuk mencari korban, termasuk mencari kejelasan nasib Mbah Marijan. Tapi, hingga pukul 00.00, Mbah Marijan tak ditemukan. Sempat beredar kabar Mbah Marijan selamat tapi dalam kondisi lemas.
Rabu, 27 Oktober 2010
Pukul: 06.30, Para relawan dari tim SAR dan PMI menemukan jasad di kamar pribadi Mbah Marijan. Jasad itu sedang bersujud. Dari pakaian yang tersisa, diyakini bahwa jasad itu adalah Mbah Marijan.
No comments:
Post a Comment