JAWABANNYA bukan hanya Briptu Norman Kamaru mampu mendatangkan rating tinggi bagi acara TV.
Briptu Norman adalah sebuah fenomena budaya pop teranyar yang manguntungkan banyak pihak. Pertama, tentu masyarakat. Goyang Indianya plus nyanyi lipsync lagu "Chaiyya Chaiyya" terbukti disuka orang saat muncul di You Tube.
Nah, setelah masyarakat suka, media menyambarnya sebagai bahan berita. Memutar video tersebut berkali-kali, mencari tahu siapa polisi yang bernyanyi lipsync itu. Setelah orangnya diketahui, media makin gencar menguliknya.
Kemudian acara TV seolah berlomba mendatangkan Norman atau habis-habisan memberitakannya. Sebab ya itu tadi, Briptu Norman mampu mendatangkan rating tinggi. Ambil contoh talk show Bukan Empat Mata episode Norman yang tayang 7 April kemarin. Talkshow yang dipandu Tukul Arwana itu berada di peringkat 2 dengan rating 5,7% dan share 27,6% mengalahkan sinetron Anugerah, Islam KTP atau Pesantren dan Rock & Roll. Bahkan di hari yang sama, Cinta Fitri season 7 yang tayang bertepatan dengan B4M, terlempar hingga posisi 51 (biasanya 20 besar).
Lalu, Kehadirannya di Opera Van Java (OVJ) episode Sabtu (9/4) sukses menempatkan OVJ di posisi 2, mengalahkan pertandingan sepakbola Persib VS Bontang dan sinetron lainnya. Tak hanya acara yang mendatangkan Norman yang meroket ratingnya. sejumlah infotainment yang menayangkan liputan Norman pun kecipratan rejeki. Silet yang pada hari Rabu (6/4) ada di peringkat ke 13, pada Sabtu dan Minggu (9/4 dan 10/4) ada di posisi 4 dengan share diatas 22%.
Tak heran, melihat angka-angka itu semua stasiun TV lalu berlomba mendatangkan Norman. Tidak hanya TV malah. Norman juga diundang ke berbagai acara. Mulai dari Universitas Bung Karno (di sana ia dihadiahi motor dan beasiswa), sejumlah kantor media, hingga digandeng Farhat Abbas untuk menyanyikan lagu instan berjudul "Cinta Farhat". Bahkan, Norman dibuatkan video klip instan (dibilang begitu karena kelihatan betul Norman menyanyi sambil menghafalkan syairnya).
Kehebohan tidak berhenti sampai di situ. Sebab, Norman juga jadi rebutan rumah produksi untuk tampil di sinetron mereka. Multivision mengajak Norman main Islam KTP. Begitu juga SinemArt yang mengontrak Norman main sinetron produksi mereka.
Dengan segala aktivitas itu, pantas saja Norman jatuh sakit lantaran kelelahan. Komandannya, yang biasa menemani Norman, Kasat Brimob Polda Gorontalo Anang Sumpena. mengatakan selama sepekan di Jakarta Norman sudah hadir ke lebih dari 15 acara. Banyak acara itu berlangsung hingga larut malam. Lalu paginya Norman sudah harus datang ke acara lain.
Mendengar kabar Norman sakit karena kelelahan saya teringat Mbah Surip. Beliau meninggal Agustus 2009 silam bukan hanya lantaran gaya hidupnya yang hobi merokok dan minum kopi, tapi terutama aktivitasnya yang maha padat menjelang kematiannya.
Norman sedikit beruntung karena usianya masih muda, tak seperti Mbah Surip yang sudah uzur. Namun, walau masih muda dan biasa berolah fisik sebagai anggota polisi, Norman tetap manusia yang energinya bisa habis bila terus-terusan diporsir tampil ke berbagai acara.
Nah, pertanyaannya kemudian, mengapa Briptu Norman harus memenuhi undangan acara ke sana-ke mari? Apakah demi memenuhi rasa penasaran publik atas sosok pelantun lipsync Bollywood?
Memenuhi rasa penasaran publik adalah satu hal. Tapi, sebagai lembaga, polri punya kewenangan untuk membentengi anggotanya dari eksploitasi pemberitaan. Lha, ini kok malah seperti dieksplotasi tampil di berbagai acara begitu sampai ia kelelahan?
***
Sebelum menjawabnya, mari tengok sebentar pada kejadian awal bagaimana kehebohan video Norman. Saya masih ingat, di awal kemunculannya, Kabid Humas Polda Gorontalo, AKBP Wilson Damanik, mengatakan kepada media Senin (4/4) ulah Norman sebagai seorang anggota Polri sangat tidak etis. "Pertama, dia menggunakan seragam. Kedua, dia melakukannya saat sedang bertugas," ucap AKBP Wilson. Dari situ kemudian muncul dugaan Norman bakal kena sanksi.
Nyatanya kemudian Norman mendapat dukungan masyarakat yang masif. Dukungan padanya berdatangan lewat komentar di Facebook dan Twitter. Norman maupun pengunggah videonya ke You Tube tak jadi ditindak.
Polda Gorontalo memberi hukuman simpatik dengan meminta polisi penggemar dendang Bollywood ini menyanyi di tengah lapangan di depan kesatuannya.
Dari situ, polisi mendapat simpati masyarakat. Ternyata lembaga ini punya sisi simpatik. Kemudian, saya menduga, Mabes Polri menganggap kehebohan Norman menjadi cara untuk membentuk imej polisi yang tak sangar, kaku, bahkan mungkin bisa mengikis citra polisi yang jelek gara-gara kasus Cicak-Buaya atau rekening gendut perwira Polri. Polri ingin juga terliha asyik alias cool. Tidak anti pada anggotanya yang bertingkah di luar kelaziman.
Maka tak heran, ketika Norman diundang ke Mabes Polri dan menggelar jumpa pers di sana, sejatinya Polri tengah memainkan trik kehumasannya. Apalagi kemudian, kegiatan Norman di Jakarta mendapat restu Mabes Polri. Tengok saja, betapa ke mana-mana Norman selalu didampingi atasannya Kasat Brimob Polda Gorontalo Anang Sumpena dan Wakadiv Humas Mabes Polri Boy Rafli Ammar.
Ini artinya pula, kegiatan roadshow Norman adalah juga aktivitas Polri resmi sebagai lembaga, bukan lagi tindakan personal. Norman adalah artis jebolan Polri. Pada titik ini Polri telah bertindak selayaknya manajemen artis yang mengatur jadwal sang artis.
Saya teringat film karya Clint Eastwood Flags of Our Fathers (2006). Di film itu dikisahkan para tentara Amerika yang menaikkan bendera Amerika usai bertempur di Pulau Iwojima saat Perang Dunia II digunakan militer untuk kampanye membangkitkan jiwa patriotisme rakyat. Mereka di arak ke seantero Amerika, dielu-elukan sebagai pahlawan perang, dibawa ke stadion diminta merekonstruksi aksi mereka membentangkan bendera Amerika hingga datang ke pesta-pesta kelas elit. Militer menggunakan tentara-tentara itu untuk menarik simpati masyarakat agar menyisihkan uangnya membeli surat utang pemerintah untuk membiayai perang.
Lantas, salahkah Polri memanfaatkan euphoria masyarakat atas Briptu Norman dengan sebuah praktek kehumasan demi membentuk citra? Sah-sah saja. Sekarang zamannya setiap orang atau lembaga ditentukan oleh citra yang dibentuknya.
Asalkan, alangkah baiknya bila aksi kehumasan itu memikirkan pula Norman sebagai manusia biasa yang bisa lelah….
No comments:
Post a Comment