Tukirin dan Ironi Krakatau

http://assets.kompas.com/data/photo/2011/12/13/2257318620X310.JPG
Umurnya tak muda lagi, terlihat jelas dari rambutnya yang memutih. Tubuhnya kecil, tetapi liat. Dia tangguh mendaki Gunung Anak Krakatau. Saat berjalan di lebat hutan Pulau Sertung dan meniti tebing di Pulau Rakata, dia seperti kijang muda. Begitu sigap, begitu cepat.
Tanpa kompas dan peta, dia menjelajah pedalaman Rakata. Nyaris seluruh lekuk pulau itu dan pulau-pulau lain di kompleks Krakatau dikenalnya dengan baik. Dialah Tukirin Partomihardjo (59), profesor botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya meneliti Krakatau.
Dengan tekun dia mendata suksesi ekologi di kompleks pulau gunung api di Selat Sunda ini sejak 1981 hingga sekarang. Dia menjadi satu-satunya ahli suksesi ekologi Indonesia, yang memiliki catatan rinci tentang perkembangan tanaman di kawasan itu dari tahun ke tahun. Lebih dari 50 paper ilmiah tentang suksesi ekologi di Krakatau telah dibuatnya.
"Krakatau satu-satunya pulau yang terdata suksesi ekologinya sejak dari kondisi steril setelah letusan 1883. Karena itu, pulau ini sangat berharga bagi dunia ilmu pengetahuan," kata Tukirin.
Letusan dahsyat pada 27 Agustus 1883 menyebabkan Pulau Krakatau yang semula tersusun dari tiga puncak, yaitu Danan (450 mdpl), Perbuatan (120 mdpl), dan Rakata (822 mdpl), runtuh ke dalam laut. Hanya tersisa setengah tubuh Rakata yang berbentuk bulan sabit dan sepenuhnya tertutup lava panas serta abu.
Pulau Sertung dan Panjang, sisa kaldera tua sebelum letusan 1883 yang berada di lingkar luar Pulau Krakatau, juga tertimbun abu dan batu apung sampai ketebalan lebih dari 50 meter. Letusan ini dianggap para peneliti telah menciptakan area tanpa kehidupan atau semacam tabula rasa di Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang. Belakangan, sekitar tahun 1929, muncul Anak Krakatau dari dalam laut. Keempat pulau ini sering kali disebut kompleks Krakatau.
Pemerintah tak perhatikan
Biasanya Tukirin datang ke kompleks Krakatau itu tiga kali dalam setahun. "Minimal setahun sekali, tetapi pernah juga dua tahun baru ke Krakatau. Terus terang saja, kegiatan saya di Krakatau selama 30 tahun ini sama sekali tidak didanai program pemerintah," Tukirin berkata lirih. "Bisa dikatakan saya hanya mendompleng peneliti asing. Saya diminta mendampingi mereka, lalu sekaligus meneliti sendiri."
Peneliti yang pernah didampingi Tukirin kebanyakan berasal dari universitas dan lembaga penelitian di Jepang, Australia, Inggris (Universitas Oxford, Universitas Leeds, Universitas Nottingham), dan Belanda (Universitas Utrecht). Selain itu, Tukirin juga pernah menjadi narasumber sejumlah pembuat film dokumenter asing tentang Krakatau, misalnya Lion Film, Zebra Film, dan British Broadcasting Corporation (BBC).
"Untuk media dari Indonesia, baru Kompas yang saya dampingi. Itu pun setelah 30 tahun penelitian saya di Krakatau," katanya.
Pemerintah Indonesia, menurut Tukirin, sulit mendanai penelitian ekologi dasar di Krakatau. "Perhatian pemerintah sepertinya lebih ke penelitian terapan yang berpengaruh langsung terhadap sosial dan ekonomi. Tetapi, penelitian ilmu dasar sangat kurang," ujarnya. Para peneliti Indonesia yang meneliti Krakatau, baik di bidang geologi maupun ekologi, bisanya tidak bisa intensif dan berkelanjutan ke Krakatau karena alasan pembiayaan.
"Padahal, semua ilmu terapan itu dasarnya ilmu murni," kata Tukirin. Ketertinggalan Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, menurut Tukirin, salah satunya karena kurang memperhatikan ilmu dasar. Banyak teori dasar lahir di Indonesia, termasuk kolonisasi dan suksesi ini lahir karena Krakatau, tetapi kita hanya menjadi laboratorium. "Semua peneliti dan penemunya orang asing."
Kenapa situasi ini terjadi?
Perhatian pemerintah sangat kurang terhadap dunia penelitian, terutama penelitian ilmu pengetahuan dasar. Selain itu, perhatian dan penghargaan kepada peneliti juga sangat kurang. Betul yang diberitakan Kompas baru-baru ini, gaji peneliti sama dengan guru sekolah dasar.
Bagaimana Indonesia bisa maju kalau tidak menghargai peneliti dan hasil-hasil penelitian? Padahal, kemajuan suatu negara itu dasarnya penelitian. Misalnya, untuk menghasilkan kultivar (jenis komoditas) labu besar di luar negeri dibutuhkan waktu 25 tahun. Penelitinya begitu tekun meneliti dan merekayasa sehingga menghasilkan strain unggulan. Luar biasa. Kita baru meneliti selama lima tahun saja sudah dianggap menghabiskan uang negara.
Politik praktis
Apakah keadaan tidak menjadi lebih baik bagi peneliti?
Sebaliknya, dulu sepertinya masih lebih baik. Sekarang, kalau saya nilai, semuanya lebih menitikberatkan politik praktis. Semua perhatian tersedot ke sana. Dunia penelitian dikesampingkan. Ilmu dasar tidak dianggap penting. Jika terus begini, bangsa ini saya nilai rentan sekali ke depannya.

Bagaimana dengan peran media?
Ah... kondisi seperti ini juga hasil didikan media juga. Media kalau meliput politik begitu intensif. Sebaliknya, dunia ilmu pengetahuan dianggap kurang menarik dan hanya sesekali diliput. Tetapi, mungkin ini juga refleksi masyarakat kita yang selalu senang melihat berita politik, tetapi tidak begitu tertarik dengan berita ilmu pengetahuan, kemajuan dunia penelitian, dan temuan-temuan baru.

Di Indonesia, temuan-temuan baru kerap dianggap tidak menarik, sedangkan di luar negeri, kalau kita menemukan jenis atau hal baru, itu luar biasa penghargaannya. Biasanya kita baru sadar kalau itu sudah diambil orang. Misalnya, kita sedang meneliti sesuatu pada tahap awal, terus diambil orang dan dikembangkan orang, baru kita teriak-teriak itu milik kita. Dan itu sering terjadi.
Apakah itu juga terjadi di Krakatau?
Betul. Pernah diumumkan di internet, peneliti yang ingin meneliti ekologi di Krakatau harus izin dan berkoordinasi dengan Universitas Oxford. Itu karena Oxford punya petak penelitian permanen di Krakatau sejak tahun 1989 dan itu terus dipelihara sehingga semua yang akan menggunakan petak itu harus izin Universitas Oxford. Kita tidak bisa berbuat apa-apa karena yang membuat petak itu memang Universitas Oxford walaupun kita yang punya wilayahnya.
Universitas kita tidak ada yang pernah membuat petak dan membuat data yang menerus sehingga tidak bisa membuat publikasi terkait perkembangan Krakatau. Hanya saya secara pribadi yang punya data berkala tentang Krakatau. Dan, itu pun karena nebeng.
Seberapa penting Krakatau bagi ilmu pengetahuan?
Krakatau sejak awal sudah mendapat perhatian istimewa dari ilmu pengetahuan, terutama dari sejarah letusan yang luar biasa dikenal oleh manusia. Banyak letusan lebih besar sebelumnya, tetapi yang terekam lengkap dalam sejarah adalah Krakatau. Letusannya hampir memengaruhi separuh belahan bumi, yang tertutup oleh abu Krakatau dan dikisahkan tsunami yang ditimbulkan letusan terdeteksi sampai ke Jepang, bunyi letusannya bisa terdengar sampai India. Ini suatu informasi sejarah yang luar biasa.
Saking luar biasanya, ilmuwan Belanda tertarik sejak awal dan selalu mengikuti perkembangan Krakatau itu. Selain mencatat soal geologi, mereka juga secara menerus mendata perubahan ekologi di pulau ini sehingga lahirlah teori suksesi primer yang dasarnya dari Krakatau, teori fitogeografi pulau juga dasarnya dari penelitian tentang Krakatau, serta sejumlah teori ekologi lainnya.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari penelitian dasar di Krakatau?
Kita beruntung karena memiliki satu-satunya tempat di dunia yang terdata sejak peristiwa sterilisasi dimulai hingga proses suksesinya. Dari perjalanan suksesi Krakatau, kita bisa belajar tentang bagaimana hutan tropis yang kompleks itu terbangun. Dimulai dari perjalanan laba-laba ke pulau ini, diikuti munculnya lumut, paku-pakuan, dan rumput sebagai pionir hingga terbentuknya hutan sekunder.
Dengan terungkapnya informasi dan pengetahuan tentang suksesi ini, kita dapat mempelajari dan merestorasi hutan kita yang rusak. Selain itu, kita juga bisa belajar bahwa ada sedemikian banyak tahapan yang harus dilewati untuk membangun ekosistem hutan sehingga kita harus hati-hati menjaganya.
Sayangnya, sampai sekarang kita masih dalam tahap memiliki kekayaan Krakatau ini, tetapi tidak memahami dan memanfaatkan kekayaan Krakatau dengan baik. Kita menyia-nyiakannya dan tidak mau belajar dari anugerah alam ini.


Sumber :
Kompas Cetak

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment