Hancurnya Benteng Alam


 
"Dhuar...!" tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga dari perbukitan itu. Bersamaan suara menggelegar, jatuh ratusan ton batu berukuran raksasa—rata-rata seukuran sepeda motor.
Di atas lereng bukit, seorang petambang batu bergelantungan, terlilit seutas tali tambang sambil memegang sebilah linggis. Rupanya, suara batu-batu besar menggelegar yang jatuh dari lereng terjal bukit itu hasil cukilan linggisnya.
Kawasan Gunung Kunyit yang tingginya 300-400 meter di atas permukaan laut tersebut, saat ini merupakan kawasan penambangan liar galian C. Batu- batu dari perbukitan ini dijual ke sejumlah daerah di Bandar Lampung sebagai bahan fondasi rumah atau bangunan.
"Goenoeng Koenjit", demikian orang Belanda menamai kawasan perbukitan di pesisir selatan Teluk Betung, Bandar Lampung, itu. Namun, saat ini, kawasan perbukitan karst tersebut tidak lagi terlihat seperti gunung.
Penambangan liar tak terkendali selama puluhan tahun telah menghabisi perbukitan itu. Kini, diperkirakan hanya tersisa 30-40 persen dari total luas perbukitan sesungguhnya.
Pemandangan di kawasan yang disebut Gunung Kunyit oleh warga lokal itu kini mencengangkan. Bukit-bukit bebatuan dan pasir terlihat terpenggal-penggal membentuk tebing yang curam setinggi puluhan meter hingga ke puncak bukit.
"Dulu, ketika saya masih kecil, badan gunung ini masih terlihat (menjorok) sampai ke laut. Sekarang, lambat laun mulai habis (ditambang)," ujar Adi (32), warga Bandar Lampung, memberikan gambaran kondisi Gunung Kunyit pada masa lalu.
Tak mengherankan, siapa pun yang mencoba mencari letak Gunung Kunyit melalui Google Maps, wahana teknologi informasi ini akan menunjuk lokasi gunung di lepas pantai, bukan daratan! Saat ini, jarak bukit dengan pantai sekitar 120 meter.
Bagong (32), petambang batu yang biasa beraktivitas di Gunung Kunyit, membenarkan, puluhan tahun lalu, cakupan dari perbukitan ini sangat luas, mencapai puluhan hektar. Kini, luasnya kurang dari 10 hektar. Bahkan, sebagian areal bekas perbukitan yang ditambang kini menjadi permukiman penduduk, kebanyakan warga petambang setempat.
"Dulu, kalau mau menambang (batu) sampai ke pinggir laut. Bahkan, (material) diangkut pakai kapal ke daratan," ujar Bagong, mengungkapkan kisah yang diceritakan petambang batu dari generasi-generasi sebelumnya di wilayah tersebut.
Bunuh diri
Hancurnya kawasan Gunung Kunyit layak disayangkan. Pasalnya, pada masa lalu, terutama kala meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883, perbukitan karst yang menjulang itu menjadi benteng alamiah penahan tsunami. Awan panas yang keluar dari tubuh Krakatau mendorong terjadinya tsunami atau gelombang raksasa yang menyapu pesisir di barat Jawa dan Lampung, termasuk pesisir tempat Bukit Kunyit berada hingga ketinggian 30 meter.
"Kalau tidak ada Gunung Kunyit, bisa jadi tempat kami tinggal ini hancur disapu (tsunami) saat itu," ungkap Sapami (39), warga Teluk Betung Selatan, yang tinggal tak jauh di belakang Gunung Kunyit.
Padahal, penambangan batu di Gunung Kunyit sangat berisiko. Pekerja harus memecahkan batu-batu di puncak-puncak bukit atau tebing dengan peralatan seadanya, martil dan linggis.
Untuk pengaman, penggali batu menggantungkan nyawanya pada seutas tambang yang membelit di tubuhnya. Sementara, tugas pengumpul batu tak kalah berbahaya karena batu yang menggelinding sewaktu-waktu dapat menimpa mereka, jika lengah sedikit saja.
Faktanya, risiko-risiko besar macam itu tak menciutkan nyali para petambang ilegal yang menggantungkan hidupnya dari batu-batu itu. Nurdin (54), salah seorang petambang di Desa Kunyit Laut, Teluk Betung Selatan, mengaku sudah tiga kali terkena longsoran kerikil atau batu saat menambang. Tiga tahun lalu, Nurdin nyaris kehilangan nyawanya. Ia tertimpa longsoran batu-batu besar, salah satunya hampir seukuran televisi 40 inci, saat memindahkan batu-batu ke dalam truk.
"Alhamdulillah, masih selamat. Masih bisa kerja untuk beri makan keluarga," ungkapnya. Namun, peristiwa itu tak bisa menutupi jejak mengerikan. Akibat kejadian itu, tulang-tulang punggung Nurdin remuk pada beberapa bagian. Badannya kini membungkuk, tulang-tulangnya bengkok dan menonjol terlihat di punggungnya.
Saat itu, Nurdin hanya tiga bulan libur untuk memulihkan kondisinya. Ia lalu kembali bekerja menambang batu, menapaki risiko yang sama.
Sudah tak terhitung lagi petambang liar di kawasan Bukit Kunyit yang meregang nyawa. Sebulan lalu, Handan, seorang petambang batu lainnya, di wilayah ini tewas akibat jatuh dan tertimpa batu sehingga tubuhnya remuk.
Gantungan hidup
Pekerjaan menambang batu di Bukit Kunyit memang sangat berisiko. Namun, dorongan warga untuk mencari rupiah demi bertahan hidup, mengalahkan segalanya. Itulah masa depan anak-cucu mereka.
"Habis, mau bagaimana lagi? Tidak ada pekerjaan lain yang memungkinkan," ujar Nurdin, pria yang bekerja sebagai petambang batu liar selama sepuluh tahun. Padahal, upah mengangkut batu ke truk dengan risiko yang cukup tinggi ini hanya Rp 20.000 per hari. Dalam sehari, penggali batu mendapat upah Rp 60.000.
Menjadi petambang batu, baik mereka yang menggali maupun sekadar mengumpulkan batu, adalah jalan mudah mengais rupiah. Asal berani mengambil risiko. Tak perlu modal, tak perlu keahlian. Tak ayal, banyak warga yang dulunya nelayan, beralih menjadi petambang yang berlokasi di kawasan pesisir Kota Bandar Lampung ini.
"Kerja semacam ini, kan enggak butuh syarat ijazah, enggak pakai modal pula. Bisa kapan saja kerja dan istirahat," ujar Eman (21), warga Teluk Betung Selatan lainnya, yang sesekali menambang batu di Bukit Kunyit.
Bagi Eman, menambang batu merupakan pekerjaan turun- temurun dari kakeknya. Ayahnya meninggal di bukit akibat angin duduk atau serangan jantung. "Kala sudah urusan perut mah, ya kerok (mau bagaimana lagi), Mas," ungkapnya, tentang alasan menggeluti pekerjaan berisiko ini.
Eman sangat sadar dengan risiko pekerjaannya. Namun, ia barangkali tak paham bahwa pemangkasan Bukit Kunyit ibarat "bunuh diri" secara massal. Tak sekadar membahayakan diri sendiri, penghancuran Gunung Kunyit—tanpa upaya pencegahan pemerintah—juga menghabisi benteng alam yang terbukti melindungi mereka dari ancaman tsunami


sumber http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/22301730/Hancurnya.Benteng.Alam

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment