Keinginan untuk merevisi UU Ormas muncul belakangan ini setelah mencuatnya berbagai kasus kekerasan yang dikaitkan dengan beberapa ormas. Presiden SBY sampai memerintahkan penegak hukum agar mencarikan jalan yang legal untuk membubarkan ormas perusuh. Karena Ormas dianggap tidak cukup kuat untuk menjadi landasannya.
Benarkah demikian ?
Sebenarnya Pemerintah dapat saja membekukan keberadaan ORMAS dengan meminta pembatalan Surat Keterangan Terdaftar ORMAS yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada Mahkamah Agung ( Kordinator Kontras “Ormas dapat dibubarkan “ kompas.com , 31 Agustus 2010)
Selain itu Menteri Dalam Negeri, Menkopolkam, dan Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa, UU ORMAS No 8 Tahun 1985 tidak lagi relevan dengan situasi sekarang sehingga perlu dirubah (direvisi).
Hal yang menonjol, menurut Mekopolkam, dalam masalah keormasan adalah terjadinya tarik menarik kepentingan antara dimensi pengelolaan lembaga pemerintah dengan aspirasi yang berkembang diantara ormas. "Beberapa ormas yang kadang mengganggu masyarakat, perlu piranti perundangan yang lebih pas."
Menteri Hukum dan HAM menambahkan, revisi UU ormas harus memasukkan pengaturan tentang ormas yang tidak berbadan hukum, tidak dibuat berdasarkan akta notaris dan tidak menyebutkan jumlah anggotanya. Sebab, UU Ormas maupun peraturan turunannya yaitu PP No 18 Tahun 1986 tak mengatur hal itu. (hukumonline.com)
Namun berbagai kalangan menyatakan bahwa UU Ormas jangan hanya di Revisi tapi harus di dicabut hal ini secara tegas dikatakan oleh beberapa Ormas ketika memberikan masukan kepada Badan Legislatif DPR dalam pembahasan RUU Ormas yakni Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Ormas-ormas ini menilai bahwa Dari segi segi filosofis, sosilogis dan yuridis, UU Nomor 8 Tahun 1985 sudah kehilangan relevansinya dan UU tersebut lahir pada masa ketika iklim politik belum berubah seperti saat ini.
FPI yang diwakilkan Ketua DPP Munarman menyatakan, ada sejumlah kelemahan dalam draft awal yang sudah diterima pihaknya. Dia mengatakan, draf lebih memilih paradigma tertentu. Sementara dari klausul sanksi lebih memojokkan kelompok tertentu.
"Kenapa bukan liberalisme yang jelas-jelas menjadi penyebab kemiskinan yang dipermasalahkan," kata Munarman menambahkan draft yang tidak netral, Seperti dilansir laman DPR.
Sedangkan PSHK yang diwakilkan Eriyanto Nugroho meminta pengaturan mengenai ormas dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota).
Sementara LP3ES menyatakan untuk mengantisipasi satu kemungkinan dampak atau resiko khususnya terhadap kehidupan masyarakat maka keberadaan Ormas diperlukan suatu pengaturan.
Pengaturan diperlukan disatu sisi dalam rangka melindungi dan memberikan jaminan kepada setiap warga masyarakat, juga untuk melindungi kepentingan umum dari sebuah kemungkinan bahwa organisasi atau lembaga itu melakukan kegiatan yang dapat merugikan kepentingan umum.
Prinsip yang harus dipegang dalam pengaturan adalah keseimbangan antara ketentuan-ketentuan untuk menjamin kebebasan yang dimiliki oleh individu yang tergabung dalam kelompok dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan umum.
FBR yang diwakilkan Edwan Hamidy menyatakan seyogyanya peran pemerintah terhadap Ormas adalah sebagai fasilitator, pembinaan dan tidak memperlakukan Ormas sebagai subordinate lembaga pemerintah (jppn.com)
Selain tidak relevan dengan perkembangan yang ada, UU Ormas juga dianggap sebagai kreasi rezim orde baru yang ingin mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat, bahkan sampai saat ini UU Ormas tersebut tetap dipertahankan pemerintah untuk mengontrol dinamika perkembangan Ormas.
UU Ormas Pentingkah Buat Ormas - Kerangka hukum untuk organisasi yang bergerak di bidang sosial di Indonesia terbagi menjadi dua jenis. Untuk organisasi tanpa anggota, diatur melalui UU Yayasan. Sedangkan organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum yang masih diatur dalam peraturan kuno Hindia Belanda Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang saat ini RUU Perkumpulan juga sudah menjadi pembahasan di Badan Legislatif DPR.
Adanya keterkaitan RUU Ormas dan RUU perkumpulan yang saat ini sendang dibahas sebaiknya semua pihak menunggu terlebih dulu tuntasnya draf RUU Perkumpula agar dapat diselaraskan dengan RUU Ormas supya tidak ada tumpang tindih perundang-undangan.Yang update dari draf RUU Ormas yang baru yakni masalah bantuan dana asing. Dan juga mekanisme pembekuan ormas. Kalau masalah pelanggaran atau kekerasan, yang dilakukan oleh Ormas diserahkan sepenuhnya kepada aparat hukum
Benarkah demikian ?
Sebenarnya Pemerintah dapat saja membekukan keberadaan ORMAS dengan meminta pembatalan Surat Keterangan Terdaftar ORMAS yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada Mahkamah Agung ( Kordinator Kontras “Ormas dapat dibubarkan “ kompas.com , 31 Agustus 2010)
Selain itu Menteri Dalam Negeri, Menkopolkam, dan Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa, UU ORMAS No 8 Tahun 1985 tidak lagi relevan dengan situasi sekarang sehingga perlu dirubah (direvisi).
Hal yang menonjol, menurut Mekopolkam, dalam masalah keormasan adalah terjadinya tarik menarik kepentingan antara dimensi pengelolaan lembaga pemerintah dengan aspirasi yang berkembang diantara ormas. "Beberapa ormas yang kadang mengganggu masyarakat, perlu piranti perundangan yang lebih pas."
Menteri Hukum dan HAM menambahkan, revisi UU ormas harus memasukkan pengaturan tentang ormas yang tidak berbadan hukum, tidak dibuat berdasarkan akta notaris dan tidak menyebutkan jumlah anggotanya. Sebab, UU Ormas maupun peraturan turunannya yaitu PP No 18 Tahun 1986 tak mengatur hal itu. (hukumonline.com)
Namun berbagai kalangan menyatakan bahwa UU Ormas jangan hanya di Revisi tapi harus di dicabut hal ini secara tegas dikatakan oleh beberapa Ormas ketika memberikan masukan kepada Badan Legislatif DPR dalam pembahasan RUU Ormas yakni Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Ormas-ormas ini menilai bahwa Dari segi segi filosofis, sosilogis dan yuridis, UU Nomor 8 Tahun 1985 sudah kehilangan relevansinya dan UU tersebut lahir pada masa ketika iklim politik belum berubah seperti saat ini.
FPI yang diwakilkan Ketua DPP Munarman menyatakan, ada sejumlah kelemahan dalam draft awal yang sudah diterima pihaknya. Dia mengatakan, draf lebih memilih paradigma tertentu. Sementara dari klausul sanksi lebih memojokkan kelompok tertentu.
"Kenapa bukan liberalisme yang jelas-jelas menjadi penyebab kemiskinan yang dipermasalahkan," kata Munarman menambahkan draft yang tidak netral, Seperti dilansir laman DPR.
Sedangkan PSHK yang diwakilkan Eriyanto Nugroho meminta pengaturan mengenai ormas dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota).
Sementara LP3ES menyatakan untuk mengantisipasi satu kemungkinan dampak atau resiko khususnya terhadap kehidupan masyarakat maka keberadaan Ormas diperlukan suatu pengaturan.
Pengaturan diperlukan disatu sisi dalam rangka melindungi dan memberikan jaminan kepada setiap warga masyarakat, juga untuk melindungi kepentingan umum dari sebuah kemungkinan bahwa organisasi atau lembaga itu melakukan kegiatan yang dapat merugikan kepentingan umum.
Prinsip yang harus dipegang dalam pengaturan adalah keseimbangan antara ketentuan-ketentuan untuk menjamin kebebasan yang dimiliki oleh individu yang tergabung dalam kelompok dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan umum.
FBR yang diwakilkan Edwan Hamidy menyatakan seyogyanya peran pemerintah terhadap Ormas adalah sebagai fasilitator, pembinaan dan tidak memperlakukan Ormas sebagai subordinate lembaga pemerintah (jppn.com)
Selain tidak relevan dengan perkembangan yang ada, UU Ormas juga dianggap sebagai kreasi rezim orde baru yang ingin mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat, bahkan sampai saat ini UU Ormas tersebut tetap dipertahankan pemerintah untuk mengontrol dinamika perkembangan Ormas.
UU Ormas Pentingkah Buat Ormas - Kerangka hukum untuk organisasi yang bergerak di bidang sosial di Indonesia terbagi menjadi dua jenis. Untuk organisasi tanpa anggota, diatur melalui UU Yayasan. Sedangkan organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum yang masih diatur dalam peraturan kuno Hindia Belanda Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang saat ini RUU Perkumpulan juga sudah menjadi pembahasan di Badan Legislatif DPR.
Adanya keterkaitan RUU Ormas dan RUU perkumpulan yang saat ini sendang dibahas sebaiknya semua pihak menunggu terlebih dulu tuntasnya draf RUU Perkumpula agar dapat diselaraskan dengan RUU Ormas supya tidak ada tumpang tindih perundang-undangan.Yang update dari draf RUU Ormas yang baru yakni masalah bantuan dana asing. Dan juga mekanisme pembekuan ormas. Kalau masalah pelanggaran atau kekerasan, yang dilakukan oleh Ormas diserahkan sepenuhnya kepada aparat hukum
Dari uraian diatas maka ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh para ormas yaitu :
- UU No 8 Tahun 1985 tentang Ormas tidak relevan lagi (Filosofis, historis, yuridis dan sosiologis)?
- Masih diperlukankah UU Ormas ( direvisi atau dicabut) ?
- Bagaimana bentuk dan isi UU Ormas yang di inginkan (Perkumpulan atau Yayasan) ?
- Dst…… Selamat menjawab..
No comments:
Post a Comment