Oleh Ilman Zeid, S.Pd.
Pegawai Negeri Sipil (PNS)- Guru di Indonesia pada umumnya
dan di daerah khususnya menyambut pesta demokrasi "Pilkada" dengan
sikap yang bervariasi. Sikap tersebut antara lain "optimis" akan
memperoleh jabatan dengan mudah tanpa harus direpotkan dengan prestasi
kerja dalam bidang pekerjaannya. Terbayang olehnya pundi-pundi rupiah
akan mengalir deras ke brankas yang telah dipersiapkan sebelumnya
selain gaji bulanan.
Fungsi guru sebagai agen pembelajaran kini bertambah lagi
sekalipun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Fungsi yang dimaksudkan adalah sebagai agen politik
terselubung dalam bentuk komunitas "Sahabat si Anu" atau "Tim sukses
Pos Pemenangan si Badu. " Pasca Kampanye Pilkada, aparatur Negara ini
dikondisikan untuk saling mencurigai. Ada guru yang biasanya akrab
kini mulai agak renggang. Sebab, kemesraan dalam pertemanan agak
terusik oleh jargon-jargon indah yang sarat muatan politis. Tidak
dinafikan, ada juga PNS-Guru yang teguh dengan pendirian bahwa ia
tetap memposisikan dirinya dalam lingkup netralitas sejati. Ia tidak
ingin jabatan dengan meminta atau mengemis apalagi dengan membangun
komunitas politik terselubung.
Salah satu pencapaian karier seorang guru antara lain
menjadi kepala sekolah. Namun, sangat disayangkan guru-guru yang
memiliki kompetensi pemimpin (cerdas, jujur, mengayomi, cinta
pendidikan) tidak dilirik untuk jadi pemimpin. Justru, oknum guru yang
memiliki jiwa bisnis (untung dan rugi) dan jiwa darah muda yang lebih
giat untuk mencapai jabatan tersebut dengan berbagai upaya, misalnya
dengan menggabungkan diri secara tersembunyi dalam selimut politik
praktis. Atau dengan membangun relasi dalam hubungan kesukuan dan
kekerabatan. Para guru yang sadar bahwa ia seorang pendidik, tetap
dalam kesetiaannya. Mereka tidak peduli lagi siapa pun yang akan
menjadi kepala sekolah. Bagi mereka, jabatan kepala sekolah
seolah-olah bukan lagi bagian dari lingkup pendidikan, melainkan
menjadi sesuatu yang tidak dipentingkan.
Akhir-akhir ini, sangat jarang terjadi pelantikan kepala
sekolah yang berasal dari guru yang memiliki potensi pemimpin. Pada
umumnya kepala sekolah yang dilantik justru berasal dari kepala
sekolah juga. Dengan demikian, bukan kepala sekolahnya yang dilantik
melainkan tempat tugasnya yang baru. Sekolah-sekolah yang memiliki
jumlah siswa terbanyak menjadi incaran, sebab dana yang mengalir
semakin banyak pula. Netralitas pendidik benar-benar terusik dan diuji
dengan sistem.
Mencermati hal tersebut, seyogianya jabatan kepala sekolah
diusulkan, dan dipromosikan oleh guru yang berada dalam sekolah
tersebut. Dengan demikian, kepala sekolah dalam suatu lembaga
pendidikan secara bulat didukung oleh seluruh guru. Dana yang
dialokasikan untuk operasional sekolah pun akan terkawal dengan baik
dan digunakan sesuai kebutuhan sekolah. Selama ini, besar-kecilnya
dana yang diterima sekolah hanya diketahui oleh satu orang yaitu
kepala sekolah sebagai pemegang hak veto tunggal.
Besar sekali harapan guru terhadap pergantian kepemimpinan
(Walikota dan Bupati). Walikota dan Bupati terpilih diharapkan peduli
dengan kelangsungan lembaga pendidikan (sekolah). AKAR pendidik
betul-betul diciptakan pada satuan pendidikan mulai dari PAUD sampai
SMA. Mentalitas pendidik harus dikembalikan kepada fitrahnya yaitu
AKAR (Anti Korupsi dan Anti Rekayasa). Sehingga guru yang terpilih
menjadi kepala sekolah benar-benar memiliki mentalitas pemimpin yang
jujur, cerdas, kerja cerdas dan mengayomi yang dipimpin. Dengan
demikian, anggaran/ dana Negara terselamatkan dari praktik-praktik
korupsi dan rekayasa kegiatan.
Nama : ilman Zeid
Alamat : Kota jambi
No comments:
Post a Comment